Mendaki gunung dalam hening
Mendaki gunung dalam hening
Kita biasanya dalam mendaki gunung sibuk berceloteh, ngobrol dengan kawan sesama pendaki atau pun tidak henti-hentinya membuat keramaian/keributan. Selama dalam perjalanan kita tidak bisa diam dan hening, tapi malah sibuk dengan segala celoteh remeh temeh.
Bila suatu ketika kita mendaki gunung lagi, cobalah eksperimen berikut: mendaki gunung dalam hening.
Selama sekitar 30 menit dalam pendakian gunung kita diam total, tidak bicara atau ngobrol dengan kawan seperjalanan. Akan lebih bagus kalau kita dapat berjalan sendirian, sehingga kita tdk tergoda utk ngobrol atau bersenda gurau. Selama sekitar 30 menit itu kita diam, hening, dan memperhatikan. Kita memperhatikan alam sekitar kita. Kita mendengarkan suara-suara di sekitar, spt: kicau burung, pekikan elang, jeritan monyet, desau angin, gemericik air mengalir, dll. Kita mendengarkan suara-suara di sekitar, walau kita tdk dpt mengidentifikasikannya; dan kita tdk perlu bersusah payah utk mengidentifikasikannya. Kita mengamati pikiran-pikiran yg muncul di benak dan di hati. Kita juga mengamati reaksi-reaksi batin kita atas munculnya pikiran-pikiran tersebut, apakah muncul rasa takut, rasa senang, rasa marah, rasa benci, rasa cemburu dll.
Kita bersikap hening dan waspada. Kalau kita merasa takut dengan keheningan dan kesendirian ini, kita akui saja dengan jujur bahwa kita merasa takut. Kalau kita merasa kesepian, ya kita akui bahwa kita kesepian. Kalau kita merasa berdosa telah melakukan sesuatu hal yang salah, ya kita akui bahwa kita telah bersalah. Kalau kita merasa merasa kuat dan berkuasa, ya kita akui saja ttg perasaan kuat dan berkuasa ini.
Yang penting adalah kita terus mendengarkan dan mengamati segala hal, baik yang ada di dalam diri kita maupun yang datang dari alam sekitar kita. Bila kita terus bersikap hening dan waspada, maka suatu saat kita akan mendengar/merasa suara-suara jernih yang datang dari kedalaman diri kita yang paling dalam. Walau tdk ada yg memberitahu kepada kita, kita akan langsung tahu dan paham bahwa suara-suara jernih tersebut memberi petunjuk yg sebenarnya kepada kita.
Tidak usah dikatakan lagi, kita akan merasa damai dan enjoy dengan diri kita sendiri. Kita akan merasa bahagia, utuh penuh. Kita berada di jalur yang benar dengan tujuan yang benar pula. Semua terasa klop (pas) di tempatnya masing-masing. Dan kita merupakan bagian dari sesuatu yg terasa klop (pas) tersebut.
Mampang Prapatan IV, Jakarta
Dinihari 30 April 2005
Djuni "Lethek" Pristiyanto
Kita biasanya dalam mendaki gunung sibuk berceloteh, ngobrol dengan kawan sesama pendaki atau pun tidak henti-hentinya membuat keramaian/keributan. Selama dalam perjalanan kita tidak bisa diam dan hening, tapi malah sibuk dengan segala celoteh remeh temeh.
Bila suatu ketika kita mendaki gunung lagi, cobalah eksperimen berikut: mendaki gunung dalam hening.
Selama sekitar 30 menit dalam pendakian gunung kita diam total, tidak bicara atau ngobrol dengan kawan seperjalanan. Akan lebih bagus kalau kita dapat berjalan sendirian, sehingga kita tdk tergoda utk ngobrol atau bersenda gurau. Selama sekitar 30 menit itu kita diam, hening, dan memperhatikan. Kita memperhatikan alam sekitar kita. Kita mendengarkan suara-suara di sekitar, spt: kicau burung, pekikan elang, jeritan monyet, desau angin, gemericik air mengalir, dll. Kita mendengarkan suara-suara di sekitar, walau kita tdk dpt mengidentifikasikannya; dan kita tdk perlu bersusah payah utk mengidentifikasikannya. Kita mengamati pikiran-pikiran yg muncul di benak dan di hati. Kita juga mengamati reaksi-reaksi batin kita atas munculnya pikiran-pikiran tersebut, apakah muncul rasa takut, rasa senang, rasa marah, rasa benci, rasa cemburu dll.
Kita bersikap hening dan waspada. Kalau kita merasa takut dengan keheningan dan kesendirian ini, kita akui saja dengan jujur bahwa kita merasa takut. Kalau kita merasa kesepian, ya kita akui bahwa kita kesepian. Kalau kita merasa berdosa telah melakukan sesuatu hal yang salah, ya kita akui bahwa kita telah bersalah. Kalau kita merasa merasa kuat dan berkuasa, ya kita akui saja ttg perasaan kuat dan berkuasa ini.
Yang penting adalah kita terus mendengarkan dan mengamati segala hal, baik yang ada di dalam diri kita maupun yang datang dari alam sekitar kita. Bila kita terus bersikap hening dan waspada, maka suatu saat kita akan mendengar/merasa suara-suara jernih yang datang dari kedalaman diri kita yang paling dalam. Walau tdk ada yg memberitahu kepada kita, kita akan langsung tahu dan paham bahwa suara-suara jernih tersebut memberi petunjuk yg sebenarnya kepada kita.
Tidak usah dikatakan lagi, kita akan merasa damai dan enjoy dengan diri kita sendiri. Kita akan merasa bahagia, utuh penuh. Kita berada di jalur yang benar dengan tujuan yang benar pula. Semua terasa klop (pas) di tempatnya masing-masing. Dan kita merupakan bagian dari sesuatu yg terasa klop (pas) tersebut.
Mampang Prapatan IV, Jakarta
Dinihari 30 April 2005
Djuni "Lethek" Pristiyanto
2 Comments:
yups.. bener.
aku kadang kalo naek gunung, sering jalan sendirian... sepi, hening, hanya ada suara alam.
dan apa yang dituliskan oleh Anda itu saya rasakan juga ;)
Mas Djuni, thanks for this writing... Saya juga merasakan hal tersebut... Emang pengen banget mempertahankan (vs pasrah total?) rasa itu... tp kenapa kadang distract, ato terpecah... Well, selamat melakukan perjalanan ke "dalam".. Keep writing... Just wait for the right time to start writing my experiences so... You inspire me:) All the best!!
Post a Comment
<< Home