Thursday, December 22, 2005

Pengalaman jadi wisdom di Kraton Yogya

Pada akhir bulan Nopember 2005 lalu saya ikut sebuah workshop LSM yang membahas konservasi pada kawasan taman nasional. Banyak jargon dan pernyataan-pernyataan keras berterbangan. Ada memang realitas tentang konservasi yang meminggirkan masyarakat lokal, konflik horisontal antar masyarakat, serta pemusatan akses dan sumber daya pada segelintir orang/lembaga baik di daerah maupun di pusat. Selain itu ada peran penting dari lembaga-lembaga internasional dalam menciptakan kondisi di atas dan mendapatkan keuntungan tertentu darinya.

Setelah berkerut dahi dan berpening-pening kepala selama ikut workshop itu, saya dengan empat orang kawan dari Kalimantan berjalan-jalan ke Kraton Yogyakarta. Kami berlima jadi wisdom (wisatawan domestik). Selama berkeliling di kompleks kraton, kami dipandu oleh seorang abdi dalem kraton yang berfungsi sebagai guide wisata. Sang abdi dalem menjelaskan segala sesuatu tentang kraton dengan penuh takzim. Tamnpak jelas kepasrahan dan totalitas pengabdian kepada Sultan di wajah dan perilaku sang abdi dalem tersebut.

Sambil berjalan berkeliling saya juga menerangkan hal-hal yang berkaitan dengan kraton Yogya menurut versi saya sendiri.Tapi hal ini saya lakukan di belakang rombongan dan dengan suara rendah, karena takut menyinggung perasaan sang abdi dalem tersebut. Tentu saja cerita versi saya cukup berbeda dengan versi sang guide abdi dalem.

Selama berkeliling di kompleks kraton Yogya ini, saya biasa-biasa saja dan tidak ada perasaan khusus/aneh-aneh. Bagi saya kompleks kraton ini ya sama saja dengan tempat-tempat lainnya. Hal ini mungkin karena saya cukup lama pernah tinggal di Yogya; atau bisa juga karena saya berasal dari budaya yang sedikit dipengaruhi oleh budaya Mataraman; atau mungkin juga terlalu terkontaminasi oleh budaya modern.

Akan tetapi saya lihat kawan-kawan Kalimantan saya tampak takzim (penuh hormat dan berhati-hati sekali) selama berkeliling itu. Padahal mereka jelas-jelas berasal dari budaya yang sama sekali berbeda dengan budaya Jawa.

Dalam perjalanan pulang ke kantor Walhi Yogya, saya tanyakan pada kawan-kawan saya itu apa yang mereka rasakan dan alami selama berkeliling di kompleks Kraton Yogya itu?

Dua orang kawan mengatakan secara eksplisit bahwa selama berkeliling itu mereka merasakan suatu kekuatan adikodrati yang kuat. Selain itu, pada saat berkeliling di gedung tempat menyimpan kereta-kereta kuno milik kraton, mereka melihat ada seorang tua berpakaian Jawa yang mengikuti acara jalan-jalan kami itu. Padahal saya sendiri saat itu tidak merasakan dan melihat apa-apa. Apakah saya terlalu banyak menggunakan "otak" daripada menggunakan "hati" dan "intuisi"?

0 Comments:

Post a Comment

<< Home