Wednesday, August 15, 2007

Penyakit Rematik dan Meditasi

PENYAKIT REMATIK DAN MEDITASI

Saya mengalami serangan peyakit yang dari gejala-gejalanya disebut sebagai penyakit rematik setelah ikut MMD seminggu di Rowoseneng, Jawa Tengah. Sebelumnya saya tidak pernah mengalami penyakit seperti ini. Setelah pulang ke rumah, saya kumpulkan dan baca artikel dan buku mengenai gejala-gejala penyakit rematik. Kemudian saya menjadi tahu bahwa penyakit tersebut disebut sebagai penyakit rematik.

Dalam beberapa bulan terakhir ini (Maret – Mei 2007) saya sedikit demi sedikit memperoleh pemahaman secara intuitif tentang serangan penyakit rematik kepada saya ini. Pertanyaannya adalah:
  1. Mengapa saya mendapat serangan penyakit rematik?
  2. Pelajaran apa yang saya peroleh dari serangan penyakit rematik ini?

Mengapa Saya Mendapat Serangan Penyakit Rematik?

Tampaknya untuk mengurai mengapa saya mendapat serangan penyakit rematik ini, saya perlu kembali pada saat-saat saya ikut MMD seminggu di Rowoseneng pada (saya lupa tanggalnya). Selama ini saya hanya dua kali ikut acara MMD-nya Pak Hudoyo, yaitu MMD 3 hari di Bogor dan MMD 7 hari di Rowoseneng. Walau bagaimana, MMD ini memberi dampak yang sangat mendasar kepada saya.

Saya ikut MMD seminggu di Rowoseneng dengan tekad besar untuk memperoleh sesuatu atau mengalami sesuatu. Pada MMD yang saya ikuti sebelumnya, saya merasa tidak memperoleh apa-apa. Dari kawan-kawan yang ikut MMD saat itu bercerita pada pada acara diskusi bahwa mereka mengalami "sesuatu", entah perjumpaan dengan "kasih", energi alam semesta, dan lain-lain. Saya waktu itu hanya merasakan sakit dan capek dan hambar.

Nah, tekad untuk ikut MMD seminggu di Rowoseneng menimbulkan semangat untuk bermeditasi sampai "berhasil". Saya berangkat dari Jember, Jawa Timur dengan semangat tinggi. Pertapaan Rowoseneng tampak sebuah tempat yang ideal guna melakukan meditasi dan kontemplasi. Pembimbing MMD adalah Pak Hudoyo Hupudio, dan peserta yang ikut ada sekitar 6 orang dari latar belakang agama Islam, Budha, Katholik.

Hari demi hari berlalu dengan meditasi, rutin dari pagi sampai malam. Semangat saya naik turun dengan tajam, dan secara umum hanya rasa sakit yang saya peroleh. Rasa sakit luar biasa di kaki, rasanya seperti di-bor, lalu berubah menjadi seperti di-gergaji, lalu berubah seperti dipotong-potong oleh pedang dan seterusnya. Sampai suatu saat saya duduk bermeditasi selama sekitar 2,5 jam, tapi hanya rasa sakit di kaki yang terasa. Saya putus asa, marah, dongkol, gondok, dan lain-lain berkecamuk jadi satu. Rekan-rekan sesama pemeditasi bercerita pada saat diskusi bahwa mereka mengalami atau menjumpai sesuatu, tapi saya hanya mengalami rasa sakit saja. Ini yang membuat saya semakin frustasi karena iri kepada rekan-rekan saya itu.

Pada saat diskusi di sore hari Pak Hudoyo berkata untuk dapat bersikap PASRAH TOTAL. Lalu saya mencoba untuk bersikap pasrah seperti yang diuraikan oleh Pak Hudoyo itu, tapi dengan berbagai macam cara pun saya tidak dapat berhasil atau merasakan seperti apa bersikap dan bagaimana "pasrah total" itu. Dalam sesi diskusi berikutnya saya ungkapkan bahwa saya tidak bisa mencapai sikap pasrah total, dan saya tambahkan bahwa saya sampai saat itu pun tidak tahu seperti apa itu konsep "pasrah" apa lagi konsep "pasrah total". Walhasil, saya hanya mengalami rasa sakit yang luar biasa di kaki, jenuh, malas, mengantuk. Saya jadi frustasi.

Pada malam terakhir terakhir saya berupaya habis-habisan dan tetap saja tidak mengalami atau menjumpai sesuatu pun. Akhirnya di puncak putus asa dan frustasi, saya bilang kepada diri saya sendiri, "OK, kalau saya tidak mencapai sesuatu hal ya tidak apa-apa". Habis itu saya berhenti dan beristirahat dan tidur. Esok paginya acara MMD seminggu selesai.

Nah, mulai pagi hari setelah MMD seminggu itu selesai, saya mendapat sedikit serangan kejang-kejang di kaki. Hal ini tidak saya perhatikan, karena saya anggap mungkin sebagai akibat kelamaan duduk saat melakukan meditasi tersebut.

Kemudian saya kembali ke rumah dan kepada aktivitas sehari-hari. Saya kembali sebagai aktivis LSM lingkungan dengan segala hal dan keinginan untuk "merubah dunia dan lingkungan" seperti yang saya inginkan. Konflik terus terjadi dengan aneka ragam bentuk. Stress tidak bisa dihindari. Rasa sakit dan kejang-kejang di kaki mulai sering terjadi, dan hal itu terasa mengganggu aktivitas sehari-hari. Saya mengumpulkan informasi mengenai kejang-kejang yang saya alami itu dan ternyata kemudian disebut sebagai penyakit rematik. Saya lalu mengobati diri sendiri (baik dengan pengobatan tradisional maupun dengan obat-obatan modern). Tapi segala bentuk pengobatan tersebut tidak berhasil. Dengan berlalunya waktu, perlahan-lahan saya semakin jarang mengalami serangan rasa sakit rematik. Kini saya sudah tidak lagi mengalami serangan penyakit rematik tersebut.

Saya berupaya keras untuk mengobati diri sendiri. Saya lakukan pengobatan tradisional, berupa jamu rebusan, jus, dan lain-lain. Saya juga melakukan pengobatan modern, tepatnya adalah membeli sendiri di apotik obat-obat rematik. Akan tetapi, kedua cara ini tidak berhasil. Semakin saya sadar mengenai adanya penyakit rematik ini, maka biasanya akan jadi semakin bertambah parah.

Upaya untuk mempelajari informasi tentang penyakit rematik dan segala upaya pengobatannya –--> pengobatan diri sendiri yang saya lakukan (baik tradisional maupun modern) semakin membuat saya sadar bahwa saya mempunyai masalah di kaki kiri yang disebut penyakit rematik. Kesadaran terhadap penyakit rematik
--> upaya untuk mengumpulkan informasi --> pengobatan diri sendiri --> penyakit tambah parah --> kekecewaan dan kemarahanà stress --> penyakit tambah parah lagi --> ini jadi seperti lingkaran setan yang berujung semakin meningkatnya rasa sakit.

Akan tetapi, anehnya, bila saya sedang sibuk atau asyik mengerjakan sesuatu hal, maka penyakit itu terlupakan. Kadang-kadang bisa berhari-hari atau berbulan-bulan penyakit rematik itu tidak kambuh. Dan belakangan ini, terutama mulai pertengahan tahun 2006 sampai hari ini penyakit rematik itu amat jarang sekali kambuh. Mengapa? Saya tidak tahu pasti dimana jawabnya yang benar, yang jelas hal ini bukan karena pengobatan-pengobatan yang saya lakukan. Sejak akhir 2006 semua bentuk pengobatan diri sendiri untuk mengobati penyakit rematik yang saya derita itu saya tinggalkan karena saya anggap tidak memberi manfaat.

Pelajaran Apa yang Saya Peroleh dari Serangan Penyakit Rematik Ini?

Secara perlahan-lahan saya memahami serangan penyakit rematik itu. Pemahaman ini tidak melalui bacaan atau kumpulan informasi yang saya kumpulkan, melainkan pemahaman secara intuitif. Ternyata penyakit rematik ini adalah semacam simbol bagi saya.

Rasa sakit dan kejang-kejang (yang disebut sebagai penyakit rematik) ini merupakan sebuah gambaran dari puncak gunung es emosi-emosi dan keinginan-keinginan yang tidak terwujud dan terpendam di masa lalu dan kini. Emosi-emosi dan keinginan-keinginan itu seperti rasa marah, kesakitan, kesedihan, ketakutan, keinginan terhadap barang-barang, dan lain-lain. Semua itu menggumpal dengan keras di dalam diri saya dan tidak bisa keluar. Dengan meditasi, "gumpalan" itu mendapat "sarana" untuk keluar. Akan tetapi, karena suatu dan lain hal "gumpalan" itu tidak dapat keluar dengan bebas. Akibatnya adalah rasa sakit yang terwujud terus dalam kehidupan sehari-hari, baik ketika saya bermeditasi maupun dalam aktivitas normal lainnya. Dan saya jadi orang yang punya penyakit rematik.

Secara garis besar, pelajaran dari serangan penyakit rematik ini adalah:
  1. Penyakit rematik ini adalah simbol dari emosi-emosi negatif dan tekanan yang saya pendam sejak masa kecil hingga sekarang.
  2. Serangan penyakit rematik ini semakin gencar ketika saya menanggapinya dengan rasa takut, keinginan untuk sembuh, dan kumpulan informasi mengenai penyakit ini.
  3. Semakin saya berusaha untuk dapat sembuh dari serangan penyakit rematik ini, maka saya semakin gencar serangannya. Akan tetapi, ketika saya "membiarkan" dan "tidak mempedulikannya", penyakit rematik ini "padam" dengan sendiri. Dan sekarang penyakit rematik ini tidak pernah kambuh.
  4. Semakin saya memahami emosi-emosi negatif dan tekanan-tekanan yang saya pendam sejak masa kecil, maka banyak hal yang biasanya terekspresikan menjadi rasa sakit (rematik, sakit kepala, sakit punggung, dan lain-lain) akan menghilang dengan sendirinya.
  5. Meditasi merupakan sarana "pelepasan" bagi emosi-emosi negatif dan tekanan-tekanan terpendam.

Yogyakarta, 15 Agustus 2007
Djuni

Friday, August 03, 2007

Pengenalan diri

At 05:29 01/08/2007, you wrote:
Sementara orang menjadi eling pada tingkat sadar, orang juga mulai menemukan iri hati, pergulatan, keinginan, motif, kecemasan yang terletak pada tingkat lebih dalam dari kesadaran. Bila batin tekun menemukan seluruh proses dirinya, maka setiap peristiwa, setiap reaksi menjadi cara untuk penemuan, cara pengenalan diri. JKrishnamurti.org - Daily Quote -------------------------------------------------------------

Uraian di atas ini tepat sekali menggambarkan apa yg saya rasakan dan kemudian saya tuliskan dg judul "Minum Kopi". Kesadaran saya kepada "ritual" minum kopi di pagi dan sore hari ternyata mengarah kepada pemahaman kemelekatan terhadap "ritual" itu dan perasaan-perasaan yang menyertainya. Oleh karena itu saya jadi sedikit paham mengenai "kemelekatan yang membebaskan" dan "kemelekatan yang semakin menambah ketergantungan atau melekat".

Dalam kehidupan sehari-hari, saya amati banyak orang yang menyadari bahwa dia tergantung (melekat) pada sesuatu hal; tapi kesadaran ini malah membuat pembenaran atas ketergantungan itu. Contoh paling gampang adalah merokok. Banyak orang sadar bahwa merokok itu merusak kesehatan, tidak baik bagi "kocek", dan kotor (karena meninggalkan abu dan puntung rokok sembarangan). Namun dengan pembenaran bahwa merokok itu mensejahterakan para buruh pabrik rokok dan petani tembakau, menyumbang devisa kepada negara (karena rokok menyumbang pajak besar sekali kepada negara), memberi pekerjaan kepada parah ahli (dokter, peneliti, dll); maka si orang itu terus saja merokok dengan enaknya. Ini yang saya sebut "kesadaran terhadap kemelekatan yang semakin membuat ketergantungan". Bila orang tersebut benar-benar sadar terhadap kemelekatannya, maka dia akan meninggalkan hal itu.

Menyadari pikiran seperti iri hati, keinginan, cemburu, ketakutan adalah sesuatu yg sangat sulit. Tapi seperti dibilang oleh Krishnamurti di atas, "Bila batin tekun menemukan seluruh proses dirinya, maka setiap peristiwa, setiap reaksi menjadi cara untuk penemuan, cara pengenalan diri."

Tampaknya jalan saya untuk mengenal diri sendiri masih sangat panjang.

salam,
djuni

Wednesday, August 01, 2007

Intelektual dan Kepasrahan

Tari,

Saya rasa paling sedikit ada 2 hal yg menghambat proses penemuan diri sejatimu lebih lanjut, yaitu intelektualitas dan kepasrahan.

Kita ini produk pola pendidikan barat yg sangat mengandalkan intelek dan yg meremehkan batin. Disadari atau tidak, intelektualitas ala barat ini sangat mempengaruhi segala segi kehidupan kita.

Dalam ZEN memang salah metodenya adalah yg disebut KOAN (kalo tidak salah ya), yaitu sang guru zen memberi sebuah teka-teki singkat utk dipecahkan oleh sang murid yg secara logika tdk akan mungkin dpt dipecahkan oleh akal pikiran. Tugas ini mesti dilakukan dlm meditasi dan dlm kehidupan sehari2. Pada suatu tingkat, sang murid akan 'mentok' dan dg dipicu oleh hal2 sederhana (entah oleh ucapan, pukulan/tamparan sang guru, peristiwa, dll) dia akan mengalami pencerahan. Sebenarnya proses zen dg koan spt itu merupakan proses yg keras dan kejam, karena proses itu berlangsung tanpa kompromi.

Eh, saya kok malah ngelantur mbahas zen. Kembali pada intelektualitas. Dlm kehidupan normal sehari2 memang sangat diperlukan intelek yg tajam dan kuat. Tapi dlm kondisi meditatif, intelek yg tajam dan kuat malah akan sangat menghambat. Mengapa? Karena dlm meditasi memang tdk menggunakan proses intelek. Intelek hanya akan memperbesar ke-AKU-an. Dlm meditasi proses berfikir yg sangat jadi andalan intelek itulah yg terus menerus DIAMATI dan DISADARI (ini metode meditasi Vipassana). Hasilnya bukan pikiran jadi kosong atau konsentrasi atau masuk ke dalam ketidaksadaran (trance?), tapi hasilnya adalah KESADARAN PENUH dlm segala aspek. Contohnya adalah ketika suatu ujung pikiran baru akan muncul, maka seketika itu juga akan segera disadari dan ketika kita sadar adanya ujung pikiran itu maka ujung pikiran itu akan lenyap serta tdk akan mewujud jadi pikiran yg utuh.

Yg kedua ttg KEPASRAHAN. Ngomong ttg kepasrahan adalah sangat mudah, tapi menjalaninya yg sukar. Saya sendiri dlm suatu taraf tertentu tidak paham dg apa itu sikap PASRAH TOTAL. Ini susah sekali utk dijelaskan, namun hanya dg MENGALAMI sendiri maka akan jadi paham atau tidak ttg pengertian kepasrahan. Sebenarnya syarat dasar meditasi adalah KEPASRAHAN TOTAL. Pasrah total kepada apa dan siapa? Sikap ini tdk ditujukan kepada siapa2 atau apa. Ya pasrah total begitu saja. Ini agak sukar karena kita terbiasa diindoktrinasi utk bersikap pasrah kepada sesuatu di luar diri (contohnya: Tuhan, Allah, dewa, dll). Tapi kalo memang sukar, bisa dimulai dg kepasrahan yg biasa dilakukan utk entry point (dg awalan doa, zikir, dll; tapi ini hanya utk awalan saja lho).

Lakukan meditasi dan alami saja dg kesadaran penuh. Kita akan jadi paham bahwa semua hal di dunia ini adalah FANA dan MENGALIR.

Maaf lho kalo terasa mengajari. Saya sendiri masih sangat jauh dari diri sejati. Apa yg saya uraikan di atas pernah saya alami, tapi pengalaman itu tdk bertahan lama karena dlm kehidupan sehari2 saya masih tetap terjerumus dlm hidup keduniawian dan kemelekatan lainnya. Begitulah, saya juga terus berupaya berjalan utk menemukan JALAN.

Tengkyu peri2 mat.

salam,
djuni

Idealisme untuk mengubah keadaan

"Idealisme hanya menciptakan kebingungan. Semakin besar kepastiannya, semakin kurang pemahamannya."

Lao Tsu, Tao Teh Ching: Prinsip Ajaran & Aplikasi Kehidupan.
Tarawang Press: Yogyakarta, 2002, hal. 183.

"Masalah disebabkan oleh orang yang berpikir mereka cukup cerdas untuk memperbaiki segalanya. Pertama mereka mencoba, kalau ada perlawananan, mereka akan memaksa. Lalu mereka memaksa lebih keras hingga niat mereka hilang dalam pergumulannya dan ketidakharmonisannya. Kelicikan dan serta kejeniusan menjadikan segalanya lebih parah."

Lao Tsu, Tao Teh Ching: Prinsip Ajaran & Aplikasi Kehidupan.
Tarawang Press: Yogyakarta, 2002, hal. 217.