Minum kopi
Kemelekatan terhadap minum kopi
Pagi ini saya habis minum secangkir kopi tubruk. Saya ingat pengalaman beberapa bulan yg lalu. Apakah itu kenikmatan atau kah kemelekatan terhadap kenikmatan?Pada pertengahan tahun 2006 saya mempunyai kebiasaan baru yaitu minum kopi. Sebenarnya saya bukan peminum kopi. Kalau sedang ingin minum kopi, ya kemudian bikin segelas kopi dan meminumnya. Namun sebaliknya bila saya sedang ikut suatu kegiatan yg sampai bermalam atau kerja lembur, maka saya minum kopi seperti minum air putih saja. Kalau tidak ingin minum kopi, ya tidak apa-apa. Kebiasaan yg cukup rutin adalah minum teh segelas besar pada pagi hari dan sore hari, minum teh segelas besar itu habis tidak dalam waktu singkat tapi habis dalam beberapa jam (2-3 jam).
Jadi pada pertengahan tahun 2006 itu tiap pagi dan sore hari oleh pembantu rumah tangga, saya dibuatkan segelas teh tubruk dan secangkir kopi tubruk. Hal ini berlangsung sampai sekitar 3 bulan. Suatu saat beberapa kali pembantu rumah tangga saya lupa utk membuatkan teh dan kopi itu. Ada rasa marah terasa. Ada rasa kecewa. Ada tuntutan utk dilayani. Namun demikian, tentu saja, saya tidak mengungkapkan emosi-emosi itu kepada pembantu rumah tangga dan istri saya. Di permukaan, tampilan saya biasa-biasa saja; tapi di dalam terjadi emosi-emosi negatif yg seru.
Saya gali lebih dalam ada apa di balik emosi-emosi itu? Ternyata banyak perasaan yg bersembunyi di balik emosi-emosi itu. Ini perasaan yg sangat halus dan samar.
Pertama, kenikmatan
Dengan tidak disediakannya minuman kopi itu, maka tiada pula kesempatan utk menikmati secangkir kopi panas. Menyeruput harum kopi dan meneguk kopi tubruk dengan rasa pahit kopi dan manis gula pasir.
Kedua, hak istimewa (privilese)
Walau hanya dalam ukuran sangat kecil, rumah tangga, ternyata ada hak-hak istimewa yg saya terima. Hak-hak istimewa ini tampak kecil dan tidak berarti, tapi memberi perasaan puas diri dan berkuasa. Tidak disajikannya secangkir kopi dan segelas besar teh tubruk di pagi hari dan di sore hari seperti biasanya, seperti menantang otoritas. Hak-hak istimewa saya terasa dilecehkan dan oleh karena itu menimbulkan keinginan utk "menegakkan" otoritas seperti biasa: "siapa yg berkuasa dan siapa yg dikuasai".
Ketiga, kemelekatan
Kebiasaan setiap pagi dan sore disediakan kopi dan teh, dan kemudian menikmati minum kopi dan teh, ternyata menimbulkan suatu rutinitas seperti ritual. "Ritual" minum kopi dan teh ini menjadikan suatu hal yg melekat pada diri saya. Ada terasa "kekosongan" ketika ritual tsb dilanggar dan menimbulkan gejala-gejala ikutan, seperti sakit kepala, malas, rasa ingin terhadap sesuatu yg mesti dipenuhi, dll.
Hal-hal itu terus membuat saya semakin dalam utk merenung dan bertanya-tanya kepada diri saya sendiri. Saya bertanya pada diri sendiri:
# Apakah saya benar-benar menikmati minuman kopi tersebut?
# Apakah saya memang punya hak utk dilayani seperti ini setiap hari? Apakah ini memang jadi privilese saya sebagai seorang kepala rumah tangga?
# Apakah kebiasaan ini begitu mengikat saya demikian kuat?
# Apa perasaan terdalam pada masalah ini?
Bila saya jujur pada diri sendiri, minum kopi atau tidak minum kopi ya biasa-biasa saja. Bahkan saya tidak bisa membedakan mana kopi yg enak dan mana kopi yg tidak enak. Tapi kalau kopi yg sudah dingin agak lama sering kali tidak enak dan bikin "neg"; juga kopi bikinan pabrik, seperti Nescape dll tidak saya sukai. Pada dasarnya saya tidak pilih-pilih dalam meminum kopi, entah kopi warung tegal, kopi Lampung, kopi jagung, dll. Selain itu, kebiasaan atau "ritual" minum kopi ini hanya berlaku di rumah saja, di tempat-tempat lain tidak ada kebiasaan itu -- dalam artian bila ingin minum kopi ya bikin sendiri atau membeli dari warung. Jadi apa yg sebenarnya mendasari kemarahan saya itu? Ini perlu menggali lebih dalam lagi, upaya utk memahami diri sendiri dan motiv-motiv tersembunyi.
Ternyata, motiv terdalam adalah hal "ritual" minum kopi. Dengan tidak disajikannya kopi dan teh oleh pembantu rumah tangga, maka ini terasa menantang hak privilese saya. Berani-beraninya seorang pembantu rumah tangga di dalam "kerajaan" saya kok malah menantang otoritas saya sebagai kepala rumah tangga? Penantangan terhadap otoritas ini kemudian terasa menantang "eksistensi" sebagai "raja kecil". Ini namanya "subsversif".
Saya terkejut sekali setalah memahami motivasi terdalam saya dalam hal minum teh dan kopi tsb.
Selanjutnya, saya menantang diri sendiri, "Apakah ada pengaruhnya bila saya tidak disediakan minuman kopi dan teh, baik di pagi hari maupun di sore hari oleh pembantu rumah tangga atau pun oleh istri saya?" Bila saya memang benar-benar ingin minum teh atau kopi, maka saya dapat membuatnya sendiri daripada mesti minta disediakan oleh pembantu rumah tangga atau oleh istri. Beranikah saya melakukan eksperimen dalam praktek utk bilang bahwa tidak perlu disediakan minuman kopi dan teh setiap pagi dan sore, saya akan bikin sendiri bila memang saya ingin minum itu.
Kemudian saya menjalankan percobaan ini dalam kehidupan sehari-hari. Pada awalnya memang terasa agak aneh dan terasa tidak nyaman, tapi dari hari ke hari dan minggu menjadi bulan, ternyata tidak ada dampak negatif pada diri saya. Minum kopi atau tidak minum kopi ya biasa-biasa saja. Tidak ada "ritual" minum kopi di pagi dan sore hari juga biasa-biasa saja. Tidak disajikan minuman kopi di pagi dan sore hari juga tidak apa-apa. Dalam hal ini tidak ada yg hilang atau diremehkan otoritasnya. Semua terasa mengalir begitu saja dan ringan. Ternyata menyadari kemelekatan dan memutus rantai kemelekatan itu tidak mudah, ini terutama sekali utk menyadari bahwa saya "melekat" pada sesuatu hal -- dalam hal ini melekat pada kebiasan minum kopi dan teh (fisik) serta perasaan berkuasa sebagai seorang "raja kecil" dalam rumah tangga karena dilayani setiap hari (mental).
Sekarang dan selanjutnya, kadang-kadang saya masih dibuatkan secangkir kopi dan segelas teh tiap pagi dan sore. Ada perbedaan besar antara "kebiasaan" yg sekarang ini dengan "kebiasaan" yg dulu. Setelah saya dapat memutuskan "rantai kemelekatan" itu, minum kopi/teh merupakan suatu hal yg biasa-biasa saja. Bila dijalankan OK, tapi bila tidak dijalankan ya tetap OK. Minum kopi/teh atau tidak minum kopi/teh ya biasa-biasa saja. Tidak ada lagi terasa suatu hak istimewa utk mendapatkan perlakuan khusus. Ada penyajian atau tidak ada penyajian juga tidak apa-apa, tidak ada tuntutan untuk begini dan begitu.
Begitulah, ternyata secangkir kopi mempunyai sebuah cerita yg cukup panjang.
salam,
djuni
0 Comments:
Post a Comment
<< Home