Saturday, May 19, 2007

Upaya Mengusung Penyadaran Lingkungan Lewat Informasi Blog

Kawan-kawan Miliser Lingkungan,

Moderator Milis Lingkungan diwawancarai oleh Redaksi Majalah Online Blogfm. Hasilnya dapat dibaca di sini:

Upaya Mengusung Penyadaran Lingkungan Lewat Informasi Blog

BENCANA alam di Indonesia yang datang bertubi-tubi, sungguh sangat memilukan hati. Mulai dari musibah Tsunami di Aceh, Tanah Longsor, Gempa Bumi, Bencana Lumpur Panas di Sidoarjo,dan lain-lain menerbitkan keprihatinan kita semua. Pada edisi bz! kali ini kami menghubungi sejumlah blogger yang begitu concernmembahas sejumlah fenomena alam yang terjadi dengan tinjauan kritis dan ilmiah.

Silahkan dibaca.

salam,
djuni
moderator milis lingkungan

Friday, May 11, 2007

Kemelekatan dan Kebebasan terhadap Minum Kopi

Kemelekatan dan Kebebasan terhadap Minum Kopi

kawan vivien amalia,

kalau membaca uraian singkat sampeyan mengenai kebiasaan minum kopi-mu itu, saya dapat menyimpulkan bahwa sampeyan telah menyadari adanya kemelekatan thd kebiasaan minum kopi itu. tanda-tandanya antara lain (ini berdasar uraianmu sendiri):

1. Kebiasaan minum kopi di pagi hari untuk mengawali hari juga sering saya lakukan. Kebiasaan minum kopi saya lakukan sejak saya SMA.
2. Keluargaku juga kadang berceloteh, kalau aku sudah kecanduan. 
3. 'Kemelakatan" saya mungkin pada rasa "tidak puas" kalau minum kopi bukan buatanku sendiri.
4. Rasanya asyik saya menuang air panas dalam cangkir dan mengaduk kopi tubruk, dan saya juga tidak bisa menikmati  kopi instan, yang tubruk dan alami lebih makyus... 5. Menyeduh dan menghirup aroma kopi tubruk merupakan 'kenikmatan tersendiri'
6. Saya bisa merasa lebih fit, fresh kalau sudah meneguk kopi hangat di pagi hari.

Saya yakin sampeyan memahami dan menyadari kelekatan anda pada minum kopi tubruk ini. Ada perbedaan besar antara "menyadari" dan "menyadari" terhadap sesuatu, dalam hal ini adalah "menyadari kebiasaan minum kopi". Menyadari sesuatu hal yg kemudian membebaskan, atau kah menyadari sesuatu hal yg kemudian tambah melekat terhadap sesuatu hal tsb. Kalau membaca 6 point di atas mengenai kebiasaan minum kopi sampeyan, maka kesimpulan saya adalah kesadaran thd kebiasaan minum kopi mbak vivien itu semakin menguatkan kemelekatan kepada kebiasaan minum kopi tsb; bukan pada kesadaran yg bermuara kepada kebebasan sepenuhnya (pencerahan). Mohon maaf kalau kesimpulan ini salah.

ada uraian sangat bagus dari mas krishna (xna2@cbn.net.id):

"sepertinya ada perbedaan persepsi dari kalimat TAHU BATIN SEMUA ORANG ini ....
menurut saya, yang dimaksud dengan tahu batin semua orang itu adalah mekanisme gerak pikiran semua orang itu sama ...
mekanisme gerak pikiran yaitu reaksi antara si subyek (manusia) dengan obyek (manusia lain, benda, dll) .....
reaksinya bisa kemelekatan, bisa rasa marah, benci, suka, membentuk persepsi, dll ...
jadi kalo kita mengetahui gerak pikiran kita sendiri, maka kita bisa mengetahui gerak pikiran orang lain ...
karena, mekanisme gerak pikiran itu sifatnya sama disetiap orang ....
tapi bukan berarti kita tau isi hati orang lain. atau apa yang orang lain pikirkan atau tau pengalaman batin orang lain dan maknanya ....
yang diketahui adalah cara pikiran bergerak atau mekanisme gerak pikiran ..... saya rasa, ini istilah yang lebih tepat ...

contohnya seperti mobil ...
pada dasarnya, semua mekanisme gerak mobil (cara mobil bergerak) adalah sama ...
ada aliran bahan bakar, ada pembakaran, ada tekanan, dan semuanya saling berhubungan membentuk semacam siklus
jika ada masalah pada mobil, kalo kita mengetahui betul mekanisme mobil (sayangnya saya tidak ;p), kita akan tau apa dan dimana letak masalahnya ...."

bila dirunut ada "mekanisme gerak pikiran" dari kebiasaan minum kopi mbak vivien, al:

minum kopi di pagi hari untuk mengawali hari (sejak sma)  ==> minum kopi buatan sendiri (kopi tubruk) ==> rasanya asyik saya menuang air panas dalam cangkir dan mengaduk kopi tubruk ==> menyeduh dan menghirup aroma kopi tubruk merupakan 'kenikmatan tersendiri'  ==> saya bisa merasa lebih fit, fresh kalau sudah meneguk kopi hangat di pagi hari ==> keluargaku juga kadang berceloteh, kalau aku sudah kecanduan. 

apa yang perlu dilakukan utk mengubah "kesadaran thd kemelekatan (kebiasaan/kecanduaan) minum kopi yg semakin membuat ketergantungan" menjadi "kesadaran thd kemelekatan (kebiasaan/kecanduaan) minum kopi yg membebaskan sepenuhnya"? apa tindakan mbak vivien utk dapat "bebas" dari kemelekatan minum kopi?

salam,
djuni

------------------------------------------------------
At 11:10 10/05/2007, vivien amalia <viena_aml@yahoo.com> wrote:
Kebiasaan minum kopi di pagi hari untuk mengawali hari juga sering saya lakukan .... keluargaku juga kadang berceloteh, kalau aku sudah kecanduan. Kebiasaan minum kopi saya lakukan sejak saya SMA. 'Kemelakatan" saya mungkin pada rasa "tidak puas" kalau minum kopi bukan buatanku sendiri....rasanya asyik saya menuang air panas dalam cangkir dan mengaduk kopi tubruk, dan saya juga tidak bisa menikmati  kopi instan, yang tubruk dan alami lebih makyus... Menyeduh dan menghirup aroma kopi tubruk merupakan 'kenikmatan tersendir i'
Hanya saja kalau harus bertamu atau menginap di hotel, tidak menjadi sesuatu yang 'kurang' kalau tidak ketemu kopi tubruk.
Perjalanan secangkir kopi setiap pagi...memang bisa menjadi cerita panjang, karena saya bisa merasa lebih fit, fresh kalau sudah meneguk kopi hangat di pagi hari.
Dan kebetulan pagi ini, dalam sebuah surat kabar, dimuat manfaat meminum kopi secara rutin, bisa mengurangi kolestrol dan mengurangi kadar gula bagi penderita diabetes. Dan dalam sebuah riset di Jepang, secangkir kopi tiap hari bisa membuat seseorang cerdas, dan berinisitif serta kreatif, tapi kalau lebih dari satu gelsa sehari....justru sebaliknya.....
Waahhh cerita kopi...ga ada matinya...he..he..he...
 
Salam Dalam Secangkir Kopi

Djuni Pristiyanto <belink2006@yahoo.com.sg> wrote:
Kemelekatan terhadap minum kopi

Pagi ini saya habis minum secangkir kopi tubruk. Saya ingat pengalaman beberapa bulan yg lalu. Apakah itu kenikmatan atau kah kemelekatan terhadap kenikmatan?
------------------------- dibusek -------------------------------

Wednesday, May 09, 2007

Minum kopi

Kemelekatan terhadap minum kopi

Pagi ini saya habis minum secangkir kopi tubruk. Saya ingat pengalaman beberapa bulan yg lalu. Apakah itu kenikmatan atau kah kemelekatan terhadap kenikmatan?

Pada pertengahan tahun 2006 saya mempunyai kebiasaan baru yaitu minum kopi. Sebenarnya saya bukan peminum kopi. Kalau sedang ingin minum kopi, ya kemudian bikin segelas kopi dan meminumnya. Namun sebaliknya bila saya sedang ikut suatu kegiatan yg sampai bermalam atau kerja lembur, maka saya minum kopi seperti minum air putih saja. Kalau tidak ingin minum kopi, ya tidak apa-apa. Kebiasaan yg cukup rutin adalah minum teh segelas besar pada pagi hari dan sore hari, minum teh segelas besar itu habis tidak dalam waktu singkat tapi habis dalam beberapa jam (2-3 jam).

Jadi pada pertengahan tahun 2006 itu tiap pagi dan sore hari oleh pembantu rumah tangga, saya dibuatkan segelas teh tubruk dan secangkir kopi tubruk. Hal ini berlangsung sampai sekitar 3 bulan. Suatu saat beberapa kali pembantu rumah tangga saya lupa utk membuatkan teh dan kopi itu. Ada rasa marah terasa. Ada rasa kecewa. Ada tuntutan utk dilayani. Namun demikian, tentu saja, saya tidak mengungkapkan emosi-emosi itu kepada pembantu rumah tangga dan istri saya. Di permukaan, tampilan saya biasa-biasa saja; tapi di dalam terjadi emosi-emosi negatif yg seru.

Saya gali lebih dalam ada apa di balik emosi-emosi itu? Ternyata banyak perasaan yg bersembunyi di balik emosi-emosi itu. Ini perasaan yg sangat halus dan samar.

Pertama, kenikmatan

Dengan tidak disediakannya minuman kopi itu, maka tiada pula kesempatan utk menikmati secangkir kopi panas. Menyeruput harum kopi dan meneguk kopi tubruk dengan rasa pahit kopi dan manis gula pasir.

Kedua, hak istimewa (privilese)

Walau hanya dalam ukuran sangat kecil, rumah tangga, ternyata ada hak-hak istimewa yg saya terima. Hak-hak istimewa ini tampak kecil dan tidak berarti, tapi memberi perasaan puas diri dan berkuasa. Tidak disajikannya secangkir kopi dan segelas besar teh tubruk di pagi hari dan di sore hari seperti biasanya, seperti menantang otoritas. Hak-hak istimewa saya terasa dilecehkan dan oleh karena itu menimbulkan keinginan utk "menegakkan" otoritas seperti biasa: "siapa yg berkuasa dan siapa yg dikuasai".

Ketiga, kemelekatan

Kebiasaan setiap pagi dan sore disediakan kopi dan teh, dan kemudian menikmati minum kopi dan teh, ternyata menimbulkan suatu rutinitas seperti ritual. "Ritual" minum kopi dan teh ini menjadikan suatu hal yg melekat pada diri saya. Ada terasa "kekosongan" ketika ritual tsb dilanggar dan menimbulkan gejala-gejala ikutan, seperti sakit kepala, malas, rasa ingin terhadap sesuatu yg mesti dipenuhi, dll.

Hal-hal itu terus membuat saya semakin dalam utk merenung dan bertanya-tanya kepada diri saya sendiri. Saya bertanya pada diri sendiri:
# Apakah saya benar-benar menikmati minuman kopi tersebut?
# Apakah saya memang punya hak utk dilayani seperti ini setiap hari? Apakah ini memang jadi privilese saya sebagai seorang kepala rumah tangga?
# Apakah kebiasaan ini begitu mengikat saya demikian kuat?
# Apa perasaan terdalam pada masalah ini?

Bila saya jujur pada diri sendiri, minum kopi atau tidak minum kopi ya biasa-biasa saja. Bahkan saya tidak bisa membedakan mana kopi yg enak dan mana kopi yg tidak enak. Tapi kalau kopi yg sudah dingin agak lama sering kali tidak enak dan bikin "neg"; juga kopi bikinan pabrik, seperti Nescape dll tidak saya sukai. Pada dasarnya saya tidak pilih-pilih dalam meminum kopi, entah kopi warung tegal, kopi Lampung, kopi jagung, dll. Selain itu, kebiasaan atau "ritual" minum kopi ini hanya berlaku di rumah saja, di tempat-tempat lain tidak ada kebiasaan itu -- dalam artian bila ingin minum kopi ya bikin sendiri atau membeli dari warung. Jadi apa yg sebenarnya mendasari kemarahan saya itu? Ini perlu menggali lebih dalam lagi, upaya utk memahami diri sendiri dan motiv-motiv tersembunyi.

Ternyata, motiv terdalam adalah hal "ritual" minum kopi. Dengan tidak disajikannya kopi dan teh oleh pembantu rumah tangga, maka ini terasa menantang hak privilese saya. Berani-beraninya seorang pembantu rumah tangga di dalam "kerajaan" saya kok malah menantang otoritas saya sebagai kepala rumah tangga? Penantangan terhadap otoritas ini kemudian terasa menantang "eksistensi" sebagai "raja kecil". Ini namanya "subsversif".

Saya terkejut sekali setalah memahami motivasi terdalam saya dalam hal minum teh dan kopi tsb.

Selanjutnya, saya menantang diri sendiri, "Apakah ada pengaruhnya bila saya tidak disediakan minuman kopi dan teh, baik di pagi hari maupun di sore hari oleh pembantu rumah tangga atau pun oleh istri saya?" Bila saya memang benar-benar ingin minum teh atau kopi, maka saya dapat membuatnya sendiri daripada mesti minta disediakan oleh pembantu rumah tangga atau oleh istri. Beranikah saya melakukan eksperimen dalam praktek utk bilang bahwa tidak perlu disediakan minuman kopi dan teh setiap pagi dan sore, saya akan bikin sendiri bila memang saya ingin minum itu.

Kemudian saya menjalankan percobaan ini dalam kehidupan sehari-hari. Pada awalnya memang terasa agak aneh dan terasa tidak nyaman, tapi dari hari ke hari dan minggu menjadi bulan, ternyata tidak ada dampak negatif pada diri saya. Minum kopi atau tidak minum kopi ya biasa-biasa saja. Tidak ada "ritual" minum kopi di pagi dan sore hari juga biasa-biasa saja. Tidak disajikan minuman kopi di pagi dan sore hari juga tidak apa-apa. Dalam hal ini tidak ada yg hilang atau diremehkan otoritasnya. Semua terasa mengalir begitu saja dan ringan. Ternyata menyadari kemelekatan dan memutus rantai kemelekatan itu tidak mudah, ini terutama sekali utk menyadari bahwa saya "melekat" pada sesuatu hal -- dalam hal ini melekat pada kebiasan minum kopi dan teh (fisik) serta perasaan berkuasa sebagai seorang "raja kecil" dalam rumah tangga karena dilayani setiap hari (mental).

Sekarang dan selanjutnya, kadang-kadang saya masih dibuatkan secangkir kopi dan segelas teh tiap pagi dan sore. Ada perbedaan besar antara "kebiasaan" yg sekarang ini dengan "kebiasaan" yg dulu. Setelah saya dapat memutuskan "rantai kemelekatan" itu, minum kopi/teh merupakan suatu hal yg biasa-biasa saja. Bila dijalankan OK, tapi bila tidak dijalankan ya tetap OK. Minum kopi/teh atau tidak minum kopi/teh ya biasa-biasa saja. Tidak ada lagi terasa suatu hak istimewa utk mendapatkan perlakuan khusus. Ada penyajian atau tidak ada penyajian juga tidak apa-apa, tidak ada tuntutan untuk begini dan begitu.

Begitulah, ternyata secangkir kopi mempunyai sebuah cerita yg cukup panjang.

salam,
djuni

Tuesday, May 08, 2007

Bumi kok tidak bergerak?

Bumi kok tidak bergerak?

Pada suatu hari anakku bertanya padaku, "Pa, bumi kok tidak bergerak?" "Nah lho", pikirku kebingungan. Saya berpikir keras utk menjawab pertanyaan ini. Anakku baru berumur 4,5 tahun dan bulan April 2007 ini mulai masuk taman kanak-kanak kelas nol kecil. Memang setiap akan berangkat tidur, baik tidur siang maupun tidur malam hari, anakku ini selalu minta dibacakan buku (jatahnya 2 buku cerita bergambar).

Utk menjawab pertanyaan ini saya jelaskan bahwa bumi ini besar sekali. Bumi ini bulat dan berputar selalu. Sangking besarnya, maka kita tidak merasa kalau bumi ini bergerak. Kita hanya merasa bahwa bumi ini diam saja, tapi yg bergerak adalah matahari, bulan dan awan-awan. Karuan saja anakku yg mendengar penjelasan ini bengong saja, "ndak dong blas" tampaknya.

Segera saya ambil buku Pustaka Alam Life yg berjudul BUMI. Anakku saya pangku dan saya tunjukkan gambar-gambar tentang bumi. Saya ceritakan ttg bumi dan planet-planet dan matahari. Saya cerita ttg gempa dan banjir (anakku pernah melihat dampak gempa saat di Jogja dan dampak banjir waktu ada banjir besar di Jakarta bulan Pebruari kemarin). Akan tetapi, mendengarkan cerita dan penjelasan yg menggunakan bahasa tinggi ini anakku tetap saja tidak paham.

Kawan-kawan, adakah yg bisa membantu saya utk menjelaskan kepada seorang anak usia 4,5 tahun dg bahasa yg sederhana dan mudah dimengertinya: "Bumi kok tidak bergerak?"

salam,
djuni

Monday, May 07, 2007

Sekilas tentang Kaum Sufi

KAUM SUFI

Sebutan Sufi, diturunkan dari kata suf, bulu domba - jubah bulu domba kaum zahid. Kaum Sufi mengikuti ajaran batiniah dari Quran. Bersama dengan sistem pemikiran yg berdasarkan petunjuk-petunjuk dari kitab suci mereka, mereka mempunyai metode yg praktis untuk menyempurnakan diri sendiri, yg diajarkan scara lisan. Dengan latihan-latihan, pengambilan sikap dan tarian, tenaga-tenaga insan yg senantiasa terlucut dari dirinya, akan dimanfaatkan dan diarahkan untuk pengembangan batin dan peningkatan kesadaran. Maksud dan tujuannya ialah persatuan jiwa dengan Tuhan. Mungkin ada saat-saat pendahuluan tentang ini -- saat-saat penyingkapan keinsafan (revalation) dan haru-gembira (ectasy) -- "karunia-karunia", demikianlah biasa disebutkan, tetapi kesempurnaan, persatuan dengan Tuhan, harus diusahakan; harus ada usaha yg terus-menerus.

Ada satu Tuhan. Segala sesuatu ada dalam Dia, dan Dia ada dalam segalanya. Segala sesuatu yg tampak dan tak tampak, adalah pancaran-pancaran daripada-Nya. Agama-agama, pada hakikatnya, bukanlah yg terutama, meskipun agama-agama itu dapat berguna untuk memimpin manusia ke arah kenyataan. Baik dan Buruk sebagaimana kita mengartikannya, tidaklah ada sebenarnya, karena segalanya bertolak dari Wujud Yang Satu, Tuhan; tetapi serempak dengan itu, ada "baik sejati" dan "buruk sejati". Manusia tidak bebas dalam tindakan-tindakannya; ia tak memiliki kemauan bebas, meskipun ini dapat dilakukan dengan berusaha menempuh jalan yg benar. Ia berbelok ke sana-sini karena pengaruh-pengaruh dari dalam dan dari luar dirinya - menjadi permainan setiap angin yg bertiup. Persatuan dicapai dengan dua upaya berupa pengorbanan dan pembebasan: pengorbanan keinginan-keinginan, kesombongan dan angan-angan kita sendiri di satu pihak, dan di pihak lain pembebasan dari perkara-perkara duniawi - dari cinta akan kekuasaan, kemasyhuran, kekayaan dan kehormatan. Tetapi doa dan puasa juga dapat menjadi rintangan besar; kita dapat menjadi rintangan besar; kita dapat menjadi terikat dengan apa saja. Seorang Sufi, bagaimana pun, hendaknya tidak meninggalkan kebutuhan-kebutuhan dan tidak menarik diri dari dunia. Ia harus ada di dunia tetapi tidak terikat dengan dunia. Adalah suatu rahmat yg besar memiliki apa yg perlu bagi badan jasmani. Seks dengan sendirinya bukan perkara dosa, seperti yg terjadi dalam agama Kristen ortodoks,  melainkan suatu milik yg berharga. Arti dan guna tenaga seks dapat dimengerti. Seperti ditunjukkan  Orage dalam esainya "Tentang Cinta", kesucian panca indera (dahulu kala) diajarkan sejak awal masa kanak-kanak. Dengan cara demikian, erotisma menjadi suatu seni dalam bentuk tertinggi yang pernah diketahui dunia. Gemanya yg sayup masih terdapat dalam sastra Perancis dan sastra Sufi dewasa ini."

Jiwa (dalam arti bagian tertinggi dari manusia yg mendambakan kesempurnaan) ada lebih dulu daripada raga dan terkurung dalam raga itu seperti dalam sebuah sangkar. Hidup manusia ialah suatu perjalanan yg dilakukan bertahap-tahap. Dan pencari Tuhan ialah seorang musafir penempuh perjalanan itu, yang harus melakukan usaha-usaha keras untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan dan untuk mendapatkan pengetahuan dan pengertian yg benar.

Para pengikut sufisme mengatakan, bahwa sufisme selalu ada dengan berbagai nama; dan bahwa sistem dan metode, dalam bentuk-bentuk yang berbeda dikenal oleh orang-orang Mesir, Hindu, Budha, Yahudi, Yunani dan Nasarani yg mula-mula - dalam kenyataannya, oleh agama-agama besar pada mulanya. Sufisme ada di Barat dewasa ini.

Hanya bantuan mereka yg telah mencapai tingkat perkembangan tertentu dapat membimbing si musafir di jalan itu. Asalkan ia memiliki kesanggupan untuk mentaati disiplin dan melakukan usaha, sehari saja - atau bahkan satu jam saja, di kalangan orang-orang yg arif, akan lebih berharga daripada bertahun-tahun menjalankan pertapaan dan upcara-upacara lahiriah dalam peribadatan.

Di antara peraturan-peraturan bagi murid-murid di hadapan serorang guru dapat disebutkan yg berikut: "Perhatikan dan jangan banyak bicara. Jangan jawab pertanyaan yg tidak ditujukan padamu; tetapi jika ditanya, jawablah segera, dan jangan malu mengatakan, 'aku tidak tahu'. Jangan berdebat demi perdebatan semata. Jangan menyombong di hadapan yg lebih tua. Jangan mencari tempat paling terhormat. Jangan bersikap kelewat khidmat. Patuhi adat kebiasaan sehari-hari, dan sesuaikan diri dengan keinginan-keinginan orang lain selama keinginan-keinginan itu tidak berlawanan dengan keyakinan batinmu. Jangan membuat kebiasaan apa pun, kecuali jika itu kewajiban keagamaan atau yg berguna bagi orang-orang lain, sebab itu dapat menjadi berhala.

Kaum Sufi mengatakan bahwa hampir setiap orang dilahirkan dengan kesanggupan yg memungkinkan pengembangan batin, tetapi bahwa orang tuanya dan orang-orang sekelilingnya membuat dia menjadi seorang Yahudi, seorang Hindu, atau seorang Majusi, sehingga ia penuh dengan prasangka dan menerima apa saja yg dikatakan orang-orang lain tanpa mengingat pengalaman pengalaman atau pemikirannya sendiri, dan ini menjadi batu penarung. Bila orang yg "beriman" - orang yg telah menyempurnakan diri - meninggal, jiwanya melayang ke langit yg sesuai dengan tingkat kesempurnaan yg telah dicapainya. Tetapi, betapa pun banyak "pengetahuan" yg dimiliki seseorang, kalau ia tak menilik dirinya sendiri, dan mengakui dalam hati bahwa sesungguhnya ia tak mengerti apa-apa, maka segala yg telah didapatnya akan menjadi seperti "angin di tangan".

Sumber:
Farid Ud-Din Attar, Musyawarah Burung: Sebuah Fabel Sufi karya FArid udal.  Attar.
Yogyakarta: Taawang Press, 2003, hal. 259-2263.

Saturday, May 05, 2007

De Mello dan Coelho

From: Theresia Wuryantari <twuryantari@..................>
Subject: De Mello and suara lonceng (Re: [SUARA] OOT: Mendengar suara lonceng yang dibawa gelombang dari dasar laut)


Dear mas Djuni,

Salam kenal,

Coelho terinspirasi (atau nyontek abis-abisan) tulisan seorang romo SY yang sangat terkenal, yaitu Anthony de Mello SJ, seorang spiritualis yang sangat pintar menuliskan renungan tanpa menggurui melalui contoh-contohnya yang sangat down to earth. Salah satunya adalah tentang Lonceng ini.

Selama ini saya tidak pernah percaya bahwa Coelho sering "cut and paste" begitu saja dari berbagai sumber (karena saya sendiri tidak pernah membaca Coelho), tapi mas Djuni memberikan bukti itu.

Silahkan kunjungi http://media.isnet.org/sufi/Mello/Burung/LoncengKuil.html untuk melihat tulisan de Mello tentang lonceng ini yang merupakan bagian dari bukunya berjudul "Burung Berkicau" yang saya baca 20 tahun yang lalu, dan mungkin sekarang sudah tidak beredar lagi. Kalau tertarik bisa coba cari ke Kanisius atau cari di milis pasar buku. The book will inspire you like you will never think!

salam kenal
(saya sering mendengar nama mas Djuni dari mbak Retno dan mas Banu)

Tari

========================================

Mbak Tari,

Tidak penting siapa mencontek siapa, apakah De Mello atau Coelho. Mereka adalah pejalan spiritual. De Mello dan Coelho sering "mendaur ulang" kisah-kisah lama dari berbagai keyakinan/agama/budaya dll menjadi suatu kisah yg penuh makna dan mudah dipahami oleh orang lintas iman/kepercayaan . Saya yakin, kisah ttg "mendengar suara lonceng" ini bukan karya asli De Mello atau pun Coelho, tapi kemungkinan besar mereka "mengutip" dari warisan budaya dunia. Coba baca karya-karya De Mello yg lain, mis: Sang Katak, Awaraness, dll. Saya sudah lama juga baca karya De Mello itu. Oh ya, buku "Burung Berkicau" itu masih dg mudah ditemukan di toko2 buku, karena dicetak ulang dan tetap jadi buku laris nasional.

Saya banyak sekali membaca buku ttg pengalaman spiritual dan pesan-pesan mereka pada prinsipnya adalah sama spt yg saya ungkapkan pd tulisan itu. Selain itu pada buku2 ttg "self help", Covey misalnya yg paling top, sebenarnya juga berisi petunjuk spiritual. Hanya saja buku2 "self help" ini isinya hanya menjangkau "permukaan" saja dan tidak mendalam. Oleh karena itu, tiap kali membaca dan mempelajari "7 kebiasaan manusia yg paling efektif (sekarang jadi: 8 kebiasaan)", "berfikir positif", "berpikir besar" dll masih saja ada "kekosongan" di dalam diri kita. Omong2 saya dulu sangking banyaknya punya buku "self help" spt itu, jika ditumpuk dari bawah ke atas, maka tingginya bisa mencapai 40 cm he...he...he.........

Kemudian buku2 De Mello, Coelho, J. Krishnamurti, James Redfield dll banyak membantu utk menemukan diri sejati. Tapi ini hanya akan jadi buku "self help" juga bila tidak didasari dg "laku" tertentu spt yg dilakukan oleh si anak laki2 dlm cerita Coelho tsb. Ini suatu hal yg mesti dikerjakan sendiri, dirasakan sendiri dan dialami sendiri. Membaca buku2 spiritual tanpa diimbangi dg pengalaman nyata diri sendiri tidak akan menghasilkan apa pun, kecuali "pencerahan intelektual". Dan "pencerahan intelektual" bukanlah penemuan diri sejati manusia.

Mbak Tari, "Apakah sampeyan sudah pernah 'mendengar suara lonceng' itu?"

Kapan-kapan kalau sedang mampir di kantormu saya akan ngobrol-ngobrol denganmu. Ternyata banyak juga di kalangan aktivis di Jogja yg meminati hal-hal yg bersifat spiritual. Mungkin bila ada waktu longgar kita yg punya minat sama itu bisa mengadakan "retret" bersama; tidak ada guru - murid, prinsipnya adalah kita belajar bersama dari satu dan lainnya dan tidak ada diskusi intelektual -- mungkin hanya duduk dan bermeditasi bersama.

salam,
djuni

Friday, May 04, 2007

Kemenjadian seorang Ksatria Cahaya

Pipin yg sedang berjalan di jalan sunyi dan penuh kelokan,

Ini menyambung cerita mengenai pembacaan saya atas buku Paulo Coelho yg berjudul "Kitab Suci Ksatria Cahaya". Saya membaca dan memahami buku itu tidak harafiah begitu saja, tapi saya padukan dengan pengalaman pribadi saya dan bacaan2 terdahulu yg pernah saya baca.

Bagi saya, buku Coelho itu merupakan sebuah buku petualangan spiritual. Beberapa bisa dipahami, tapi banyak hal lainnya sangat susah utk dimengerti. Hal ini seperti membaca buku Coelho yg lain, seperti "The Alchemist" misalnya. Saya membaca buku "The Alchemist" ini berkali-kali dan tetap saja "ndak dong blas". Namun, setelah saya padukan dg pengalaman tertentu dari diri saya sendiri, saya baru paham beberapa hal yg dimaksud diantaranya itu. Ini juga seperti membaca karya-karya J. Krishnamurti yg tidak dapat dilakukan dlm sekali dua kali baca, tapi mesti berkali-kali dan dipadukan dg pemahaman dan pengalaman pribadi yg sangat personal.

OK, kembali kepada Ksatria Cahaya. Kemarin pagi sudah saya tulis cerita Ksatria Cahaya. Setiap orang dapat menjadi Ksatria Cahaya. Pertanyaannya adalah bagaimana proses utk menjadi seorang Ksatria Cahaya itu? Ini tidak ada rumus yg pasti, tapi karena bacaan kita dari buku Coelho tersebut, maka uraian saya ini bersumberkan dari situ juga.

Pertama, apa itu Ksatria Cahaya?

Seperti yg saya tulis kemarin pagi, seorang Ksatria Cahaya adalah orang yg telah "mendengar suara lonceng yang dibawa gelombang dari dasar laut". Orang yg telah tercerahkan batinnya. Orang seperti ini telah bangun dan sadar akan diri sejatinya. Lalu, kalau kamu kemudian bertanya, "Apa tanda-tanda orang yg telah tercerahkan batinnya?" Jawab saya adalah, "Saya tidak tahu".

Kedua, bagaimana menjadi Ksatria Cahaya?

Uraian ini mengacu pada bagian Prolog buku Paulo Coelho, "Kitab Suci Ksatria Cahaya". Ini adalah ringkasan dan interpretasi saya atas perjalanan sang anak laki-laki sehingga bisa mendengarkan "suara lonceng". Ada beberapa tahapan utk kemenjadian sang anak laki-laki tersebut dari seorang anak laki-laki biasa hingga menjadi seorang Ksatria Cahaya. Tahapan itu antara lain:

a. Tahapan menerima tugas (misi)

Tahapan menerima tugas ini jangan diartikan secara harafiah, bahwa seseorang memberi tugas dan orang lain menerima tugas utk dikerjakan. Ini kiasan utk membantu narasi saja. Tugas ini dapat diberikan oleh orang lain atau diri sendiri, bahkan melakukan kegiatan dg spontan dan begitu saja pun sudah saya anggap melaksanakan suatu tugas.

Tugas si anak laki-laki dlm cerita Coelho ini dimulai ketika dia bertemu dg seorang perempuan yg menunjukkan ttg sebuah kuil besar yg punya banyak lonceng. Perempuan itu bilang, "Pergilah ke sana dan beritahu aku apa yg kau pikirkan setelah melihat kuil itu?" Perlu diperhatikan bahwa perempuan itu tidak menyuruh si anak utk mendengarkan bunyi lonceng. Upaya utk "mendengarkan suara bunyi lonceng" terjadi dg alamiah seiring berjalannya waktu dan pengalaman si anak. Kemudian si anak laki-laki itu pergi ke tempat yg ditunjukkan oleh perempuan itu.

b. Tahapan meditasi

Tahapan meditasi terjadi bertingkat-tingkat, ini jangan dibayangkan seperti naik tangga atau turun ke sumur. Kata "bertingkat-tingkat" ini hanya kiasan saja guna membantu narasi. Sebenarnya, tidak ada ukuran baku utk "tingkat-tingkat" meditasi ini; yg paham adalah orang itu sendiri, karena ini semua adalah sebuah pengalaman yg sangat personal dan berbeda satu dg lain orang.

Tahapan meditasi ini dimulai ketika si anak tersebut pergi ke tempat yg ditunjukkan oleh perempuan itu dan duduk di pantai memandang jauh ke batas langit. Ini merupakan sebuah proses yg sangat panjang/lama. Semula si anak tidak mendapatkan apa-apa dan ini menimbulkan kekecewaan di hatinya. Lalu si anak ke pergi ke desa dan bertanya ttg kuil yg punya banyak lonceng itu. Penduduk desa bilang bahwa pada jaman dulu memang ada kuil itu, tapi sudah bertahun-tahun lalu kuil itu tenggelam ke dasar laut. Tapi, kadang-kadang nelayan di desa itu masih mendengar suara-suara lonceng dari kuil itu. Anak itu jadi bersemangat kembali dan pergi ke pantai lagi dan duduk memandang laut, tapi yg didengarnya "hanyalah gemuruh gelombang dan tangisan anjing laut".

Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan berlalu; anak itu tetap tekun dg tugasnya. Anak itu bahkan merasa yakin bahwa di kuil itu terdapat harta karun dan bila ia mendengar bunyi lonceng, maka dia akan dapat segera menentukan dg pasti lokasi harta tsb. Anak laki-laki ini sering diejek oleh kawan-kawannya. Bahkan oleh orang-orang dewasa pun dia dianjurkan utk pulang ke rumahnya. Tapi, walau dia belum mampu mendengarkan bunyi lonceng dari kuil tua, anak itu belajar hal-hal lain. "Ia mulai sadar bahwa ia telah tumbuh dg begitu terbiasa dg suara gelombang yg tidak lagi mengalihkan perhatiannya. Dan lagi, ia jadi lebih terbiasa dg tangisan anjing laut, dengungan lebah, dan angin yg berhembus di antara pohon-pohon kelapa." Ini adalah tahap meditasi yg semakin mendalam. Si anak itu tidak melakukan suatu cara meditasi tertentu utk sampai pada tahap ini, dia hanya terjun utuh penuh pada alam lingkungannya; dia "membaur dan mendengar" alam.

Akan tetapi, proses ini bisa berlangsung sangat lama sekali atau bahkan singkat sekali. Bila terlalu lama melakukan meditasi dan merasa tidak mencapai hasil spt yg diinginkannya, maka ini akan menimbulkan kekecewaan/keputusasaan. Ada banyak alternatif bila kita kecewa atau putus asa; seperti misalkan kita menjadi geram dan merasa diperlakukan tidak adil atau memberontak atau marah-marah atau jadi sinis atau menyerah/pasrah. Konsekuensi dari sikap tersebutlah yg selanjutnya akan menentukan proses "keberhasilan" meditasi utk masuk ke "tahap berikutnya". Bila kita bersikap menjadi geram dan merasa diperlakukan tidak adil atau memberontak atau marah-marah atau jadi sinis dll sikap negatif atau pun sikap positif lainnya; maka kita akan gagal dlm menjalankan meditasi kita. Saat itu "ego" kita malah akan semakin tebal dan kuat, seolah-olah mendapat pembenaran bahwa segala yg kita lakukan dlm proses meditasi (pencarian diri sejati) adalah suatu kerja yg sia-sia dan buang-buang umur.

c. Tahapan melepas bebas beban/tugas

Ini adalah tahapan yg paling sukar. Kenapa? Karena kita dilatih dalam budaya kita utk tidak pernah menyerah. Menyerah adalah aib yg mesti dihindari. Akan tetapi, dalam perjalanan spiritual, mengakui bahwa kita menyerah secara total - pasrah total - merupakan suatu titik balik ke arah penemuan diri sejati. Dalam hal ini menyerah secara total atau pasrah total tidak hanya dilakukan secara ucapan atau pikiran, pasrah total ini mesti muncul benar-benar dari dalam batin dan selanjutnya akan mewujud ke dalam perilaku.

Bila kita bersikap menyerah/pasrah - PASRAH TOTAL, maka ini akan menjadi titik balik ke arah penemuan diri sejati kita. Bersikap pasrah total ini tidak hanya melalui ucapan/pikiran/perbuatan, namun yg sangat menentukan adalah pasrah total secara batiniah. Bila tindakan itu terjadi pada taraf batiniah, maka dg sendirinya ucapan/pikiran/perbuatan tidak diperlukan. Ada sesuatu di dalam batin yg tidak dapat ditipu, tapi kalau hanya lewat ucapan/pikiran/perbuatan saja itu bisa terjadi penipuan. Bagaimana caranya utk berlaku pasrah total secara batiniah? Jawab saya, "saya tidak tahu."

Titik balik yg dialami si anak dlm cerita Coelho ini terjadi ketika setelah hampir setahun dia "nongkrong" di pantai menekuni laut. Ia berpikir, "Mungkin mereka benar. Aku akan lebih baik tumbuh menjadi seorang nelayan dan turun ke pantai setiap pagi, karena aku telah mencintai tempat ini." Sore itu ia memutuskan pulang ke rumah. Ini merupakan sebuah pengakuan pasrah yg sangat jujur dan sederhana. Tidak ada yg disalahkan dan tidak ada yg dibenarkan.

d. Tahapan pencerahan

Ketika si anak berpikir seperti itu dan memutuskan utk segera pulang ke rumah, maka hatinya menjadi ringan - tidak lagi ada beban, tidak lagi ada misi yg mesti diemban. Dia menjadi bebas. "Ia menceburkan diri ke laut utk mengatakan salam perpisahan. Ia memandang sekali lagi alam di sekitarnya dan karena tidak lagi peduli dg lonceng itu, ia kembali bisa tersenyum pada keindahan tangisan anjing laut, gemuruh lautan, dan angin yg berhembus di antara pepohonan kelapa."

"Anak itu bahagia, dan seperti yang hanya bisa diperbuat oleh seorang anak, ia merasa bersyukur telah hidup di dunia ini. Ia yakin tidak membuang waktunya dg sia-sia karena telah belajar merenungkan alam dan menghormatinya."

Dan ..................., diantara suara-suara lautan, ia mendengar suara lonceng pertama. Dan kemudian suara lonceng yg lain. Dan pada puncaknya semua lonceng dari kuil yg tenggelam itu berbunyi semua dg indahnya.

Semua ini adalah cerita yg sangat indah dan menyentuh hati. Ini cerita yg patut utk direnungkan dan diapresiasi dg mendalam. Terima kasih Pipin atas pemberian bukunya itu, sehingga saya bisa membaca, merenungkan dan mengapresiasi sang Ksatria Cahaya.

Ketiga, apa tujuan hidup seorang Ksatria Cahaya?

Terus terang, saya tidak bisa menjawab pertanyaan ini.
Mungkin ada kawan lain yg bisa membantu menjawabnya nanti.

Keempat, bagaimana dg pengalaman pribadi saya?

Kalau Pipin bertanya pada saya, "Bagaimana pengalaman saya sehingga saya bisa mendeskripsikan perjalanan penemuan diri sejati si anak tsb?" Jawab saya adalah, "Saya tidak tahu tepatnya bagaimana dan dimana, tapi cerita ttg Ksatria Cahaya ini memicu kenangan akan pengalaman-pengalaman yg pernah saya alami." Ini sebuah pengalaman yg sangat personal yg sukar utk dijabarkan dg kata-kata. Bila suatu ketika kamu bertemu orang yg mengaku telah tercerahkan atau telah "mendengarkan suara bunyi lonceng" jangan mudah percaya karenannya; percayalah kepada hati nuranimu sendiri dlm hal yg pelik ini.

Lalu, kemudian Pipin bertanya lagi kepada saya, "Apakah Mas Djuni pernah mengalami pengalaman 'mendengar suara lonceng yang dibawa gelombang dari dasar laut'? Maka jawaban saya juga, "Saya tidak tahu". Tapi ada beberapa hal yg saya alami, tapi saya tidak tahu itu apa sebutannya (dan saya juga tidak peduli itu apa).

Sebelumnya perlu saya jelaskan bahwa saya menjalankan meditasi, walau tidak rutin dan tidak teratur. Status keagamaan saya juga cuma sebatas di kartu tanda penduduk saja. Nah, ketika proses meditasi terjadi dg mendalam, maka terjadi beberapa kejadian di dalam diri sendiri. Pertama adalah rasa sakit luar biasa, bosan, ngantuk, jenuh, putus asa, marah dll. Selanjutnya terjadi ketenangan dan kedamaian di dalam diri. Lalu terjadi ekstasi, suatu perasaan euphoria luar biasa. Perasaan euphoria ini sangat berkesan dan menetap di dalam hati. Akan tetapi sayangnya, perasaan tersebut tdk dapat bertahan lama.

Setelah pengalaman tersebut kemudian disambung dg pengalaman2 lain. Dampak dalam keseharian sangat luar biasa, yaitu dunia berjalan jadi sangat lambat di mata saya (seperti gerakan "slow motion" gitu), keinginan dan nafsu jadi rontok entah kemana, bahkan nafsu sex pun pergi tidak ada kabar berita, melihat fenomena dunia seperti melihat "cermin tembus pandang" - semua terasa jernih dan pada tempatnya masing-masing, melihat orang lain pun akan jelas motif-motif dia yg sebenarnya, dan seterusnya. Pengalaman paling menyentak adalah adanya kesadaran bahwa saya tidak tahu apa-apa. Kesadaran bahwa saya tidak tidak tahu apa pun di dunia ini meruntuhkan segala keyakinan - kepercayaan - dogma - agama dari diri saya. Sebenarnya pengalaman ini sangat menakutkan sekali. Sebagai seorang aktivis LSM, pengalaman tersebut merombak total diri saya pribadi, baik secara perilaku fisik, cara berpikir, dan batiniah. Saya tidak lagi ingin merubah dunia atau lingkungan seperti yg saya cita-citakan dulu. Merubah diri sendiri saja susahnya bukan main, apa lagi mesti merubah dunia. Berubah total jadi apa? Saya juga tidak tahu jawabnya, tapi pada prinsipnya hidup saya mengalir dg sendirinya - hidup saya biasa-biasa saja tidak berbeda dengan tumbuhan dan hewan yg menjalani hidupnya masing-masing.

Tapi, pemahaman ini baru saya sadari dan mengerti belakangan ini setelah semua sensasi euphoria dll-nya hilang tiada bekas. Ada kerinduan utk bisa mengalami lagi pengalaman2 seperti itu lagi. Namun demikian saya tidak mengejar sensasi-sensasi seperti itu. Pedoman saya sekarang ya hidup mengalir begitu saja. Kemana? Menjadi apa? "Saya tidak tahu".

Bagi saya saat ini masalah utamanya adalah mengintegrasikan pengalaman-pengalaman spiritual ke dalam kehidupan sehari-hari. Misalkan, hilangnya nafsu sex, padahal saya hidup berumah tangga yg punya kewajiban utk "memberi nafkah batin" istri saya dan "memberi nafkah batin" diri saya sendiri he...he...he.....? Saya khan tidak hidup selibat atau menjalankan 'brahmacharya" seperti Mahatma Gandhi lakukan. Atau keinginan utk mengumpulkan harta guna menghidupi keluarga (anak dan istri), padahal keinginan utk mengumpulkan harta sudah lenyap. Ini masih banyak lagi.

Uraian ini semoga dapat membantu menjadi bekal dlm perjalanan Pipin yg sukar itu.

salam,
djuni
pejalan di jalan setapak yg sunyi

Thursday, May 03, 2007

Mendengar suara lonceng yang dibawa gelombang dari dasar laut

Ksatria Cahaya

Minggu lalu saat saya berkunjung di kantor CRS Yogya, dan saya diberi sebuah buku oleh Pipin, yaitu "Kitab Suci Ksatria Cahaya" karya Paulo Coelho. Pengarang tersebut juga mengarang sebuah buku laris internasional yg berjudul "The Alchemist atau Sang Alkemis". Matur tengkiyu peri2 mat ya Mbak Pipin.

Hasil karya Paulo Coelho banyak bercerita mengenai sebuah perjalanan petualangan yg bernuansakan spiritual. Hubungan antara manusia, diri sejati manusia, alam semesta, keajaiban-keajaiban dll adalah hal biasa di dalam karya Coelho ini. Gaya penceritaannya sederhana dan mudah dimengerti, sehigga cepat dipahami oleh sebagian besar kalangan. Akan tetapi, utk dapat memahami aspek-aspek spiritual dari karya Coelho memang memerlukan waktu dan pemahaman diri sejati yg lebih luas daripada manusia pada umumnya.

Buku "Kitab Suci Ksatria Cahaya" berisi kisah-kisah sangat pendek tentang perenungan spiritual. Siapa itu "Ksatria Cahaya"? Menurut Coelho dalam buku ini, Ksatria Cahaya adalah: "Ia adalah orang yang mampu memahami keajaiban hidup, yang berjuang sampai titik darah penghabisan untuk sesuatu yang ia percayai, dan mendengar suara lonceng yang dibawa gelombang dari dasar laut". Tambah Coelho lagi, "Setiap orang mampu menjadi seorang ksatria. Dan walau tak ada seorang pun yang mengira diri mereka sebagai seorang ksatria, tapi sebenarnya mereka adalah para ksatria".

Apa beda antara manusia biasa dengan Ksatria Cahaya menurut Coelho di dalam buku itu? Uraian mengenai "kemenjadian" seseorang menjadi Ksatria Cahaya dapat ditemui pada bagian Prolog. Begini ceritanya:

Ada anak laki-laki yg hidup di tepi pantai. Suatu hari anak ini bertemu dg seorang perempuan yg menyarankan dia agar pergi ke pantai sebelah barat desanya utk mendengarkan suara lonceng dari sebuah kuil yg sudah tenggelam di dasar laut. Anak laki-laki ini kemudian pergi dan duduk di pantai dan berusaha keras mendengarkan suara-suara, adakah suara lonceng diantaranya. Berbulan-bulan dia melakukan hal ini, duduk diam guna mendengarkan suara-suara alam.

"Walaupun ia masih belum mampu mendengar suara lonceng dari kuil tua, anak itu belajar hal-hal lain. Ia mulai sadar bahwa ia telah tumbuh dengan begitu terbiasa pada suara gelombang yg tidak lagi mengalihkan perhatiannya. Dan lagi, ia jadi lebih terbiasa dengan tangisan anjing laut, dengungan lebah, dan angin yg berhembus di antara pohon-pohon kelapa."

Anak-anak di desa itu sering mengejek dia. Para nelayan menyarankan agar dia melupakan niatannya guna mendengarkan lonceng, memang bertahun-tahun lalu ada sebuah kuil dg bunyi loncengnya yg indah tapi sekarang kuil itu sudah lama sekali tenggelam di dasar laut. Tapi anak laki-laki ini tetap saja melakukan tugasnya dg tekun.

Setelah hampir satu tahun berlalu tanpa ada satu pun bunyi lonceng yg dapat didengarnya, anak laki-laki ini berpikir utk mengakhiri tugasnya itu. Anak itu berpikir, "Mungkin mereka benar. Aku akan lebih baik tumbuh dan menjadi seorang nelayan dan turun ke pantai setiap pagi, karena aku telah mencintai tempat ini." Dan ia berpikir pula, "Mungkin ini hanya legenda lain belaka dan lonceng itu telah hancur selama gempa bumi dan semenjak itu tidak pernah berbunyi lagi."

Setelah berpikir demikian, anak laki-laki ini melepaskan segala sesuatunya dan memutuskan utk segera pulang ke rumahnya. Sebelum pulang dia terjun ke laut, berenang-renang dg tanpa beban. "Anak itu bahagia, dan seperti yang hanya bisa diperbuat oleh seorang anak, ia merasa bersyukur telah hidup di dunia ini. Ia yakin tidak membuang waktunya dg sia-sia karena telah belajar merenungkan alam dan menghormatinya."

Dan ............, diantara suara-suara lautan, ia mendengar suara lonceng pertama. Dan kemudian suara lonceng yg lain. Dan pada puncaknya semua lonceng dari kuil yg tenggelam itu berbunyi semua dg indahnya.

Kembali pada pertanyaan: apa yg membedakan manusia biasa dg Ksatria Cahaya? Apakah setiap orang yg "mampu memahami keajaiban hidup", orang yg "berjuang sampai titik darah penghabisan untuk sesuatu yang ia percayai" adalah juga seorang Ksatria Cahaya? Saya pikir tidak otomatis demikian. Langkah penting orang biasa berubah menjadi seorang Ksatria Cahaya adalah ia "mendengar suara lonceng yang dibawa gelombang dari dasar laut".

Dalam bahasa lain dlm pengertian yg sama dg "mendengar suara lonceng yang dibawa gelombang dari dasar laut" adalah pencerahan, pengalaman puncak gunung, sadar, bangun, tao, mengerti, manunggaling kawulo gusti, insan kamil, dll. Ini merupakan pengalaman pertama yg menjadi dasar dari "kemenjadian" seorang Ksatria Cahaya.

Coelho menambahkan lagi, "Setiap orang mampu menjadi seorang ksatria. Dan walau tak ada seorang pun yang mengira diri mereka sebagai seorang ksatria, tapi sebenarnya mereka adalah para ksatria". Setiap orang memang berpotensi utk menjadi ksatria. Setiap orang memang mampu utk menjadi ksatria. Tapi ada perbedaan sangat besar antara ksatria yg tidak pernah mengalami "mendengar suara lonceng yang dibawa gelombang dari dasar laut" dan ksatria yg pernah mengalami secara sadar mendengar "mendengar suara lonceng yang dibawa gelombang dari dasar laut". Perbedaan ini sebesar jarak antara bumi dg langit. Perbedaan ini seperti perbedaan antara binatang dg manusia, sama-sama makhluk hidup, tapi binatang tidak punya kesadaran akan eksistensi dan manusia yg sadar akan eksistensinya.

Apa sebutan lain utk Ksatria Cahaya? Paulo Coelho adalah sastrawan sufi. Oleh karena itu dia sering menggunakan istilah yg indah. Dalam bahasa sederhana, Ksatria Cahaya adalah setiap orang yg telah tercerahkan, orang yg sadar akan diri sejatinya. Dan ini di dalam semua budaya dan agama ada istilahnya masing-masing, yang pengertian dasarnya adalah sama dan sebangun.

Dalam bagian Prolog dari buku "Kitab Suci Ksatria Cahaya" ini sebenarnya dapat dipelajari mengenai proses "kemenjadian" Ksatria Cahaya tsb. Hal-hal seperti apa yg diperlukan utk dapat "mendengar suara lonceng yang dibawa gelombang dari dasar laut". Akan tetapi, sebelum saya uraikan hal-hal itu lebih lanjut, bagaimana pendapat kawan-kawan mengenai Ksatria Cahaya dan proses "kemenjadian" Ksatria Cahaya?

Apakah engkau pernah "mendengar suara lonceng yang dibawa gelombang dari dasar laut"?

salam,
djuni